Minggu, 16 Februari 2014

Mother Teresa

Postingan kali ini saya mau ngebahas tentang Bunda Teresa.. Saya gatau banyak tentang beliau. Yang saya tau dia adalah seorang Biarawati yang mendedikasikan hidupnya buat melayani Tuhan dan sesama terutama  untuk yang kalangan bawah. Mari kita sama2 belajar mengenai kasih memalui postingan saya ini :))

 Agnes Gonxha Bojaxhiu dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1910 di Skopje, sebagai yang bungsu dari tiga bersaudara putra-putri Bapak Nikola dan Ibu Drane Bojaxhiu. Pada usia delapan belas tahun, bulan September 1928, Agnes masuk Biara Suster-suster Loreto di Irlandia. Ia memilih nama Suster Maria Teresa sebagai kenangan akan St. Theresia Lisieux. Pada bulan Desember, Sr Teresa berangkat ke India dan tiba di Calcutta pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah mengucapkan Kaul Pertamanya pada bulan Mei 1931, Sr Teresa ditugaskan untuk mengajar di sekolah putri St Maria, Calcutta. Pada tanggal 24 Mei 1937, Sr. Teresa mengucapkan Kaul Kekalnya, dan menjadi “pengantin Yesus” untuk “selama-lamanya”. Sejak saat itu ia dipanggil Ibu Teresa. Ia tetap mengajar di sekolah St Maria dan pada tahun 1944 diangkat sebagai kepala sekolah.

Pada tanggal 10 September 1946, dalam perjalanan kereta api dari Calcutta ke Darjeeling untuk menjalani retret tahunannya, Ibu Teresa menerima “inspirasi”, “panggilan dalam panggilan”-nya. Pada hari itu, dengan suatu cara yang tidak pernah dapat dijelaskannya, dahaga Yesus akan cinta dan akan jiwa-jiwa memenuhi hatinya. “Mari, jadilah cahaya bagi-Ku.” Sejak itu, Ibu Teresa dipenuhi hasrat “untuk memuaskan dahaga Yesus yang tersalib akan cinta dan akan jiwa-jiwa” dengan “berkarya demi keselamatan dan kekudusan orang-orang termiskin dari yang miskin”. Pada tanggal 17 Agustus 1948, untuk pertama kalinya Ibu Teresa tampil mengenakan sari putih dengan pinggiran garis-garis warna biru. Ia keluar melewati gerbang Biara Loreto yang amat dicintainya untuk memasuki dunia orang-orang miskin.

Pada tanggal 21 Desember untuk pertama kalinya Ibu Teresa keluar-masuk perkampungan kumuh India. Ia mengunjungi keluarga-keluarga, membasuh borok dan luka beberapa anak, merawat seorang bapak tua yang tergeletak sakit di pinggir jalan dan merawat seorang wanita sekarat yang hampir mati karena kelaparan dan TBC.  Setiap hari Ibu Teresa memulai hari barunya dengan persatuan dengan Yesus dalam Ekaristi, lalu kemudian pergi dengan rosario di tangan, untuk mencari dan melayani Dia dalam “mereka yang terbuang, yang teracuhkan, yang tak dikasihi”. Setelah beberapa bulan, ia ditemani oleh, seorang demi seorang, para pengikutnya yang pertama.



I.1. Misionaris Cinta Kasih

Pada tanggal 10 September 1946, Teresa mengalami "panggilan" saat bepergian dengan kereta api ke biara Loreto di Darjeeling dari Kalkuta untuk retret tahunannya. "Saya meninggalkan biara dan membantu orang miskin sewaktu tinggal bersama mereka. Ini adalah sebuah perintah. Kegagalan akan mematahkan iman."

Dia memulai pekerjaan misionarisnya bersama orang miskin pada 1948, meninggalkan jubah tradisional Loreto dengan sari katun sederhana berwarna putih dihiasi dengan pinggiran biru. Bunda Teresa mengadopsi kewarganegaraan India, menghabiskan beberapa bulan di Patna untuk menerima pelatihan dasar medis di Rumah Sakit Keluarga Kudus dan kemudian memberanikan diri ke daerah kumuh. Ia mengawali sebuah sekolah di Motijhil (Kalkuta); kemudian ia segera membantu orang miskin dan kelaparan. Pada awal tahun 1949, ia bergabung dalam usahanya dengan sekelompok perempuan muda dan meletakkan dasar untuk menciptakan sebuah komunitas religius baru untuk membantu orang-orang "termiskin di antara kaum miskin".

Usahanya dengan cepat menarik perhatian para pejabat India, termasuk perdana menteri yang menyampaikan apresiasinya. Teresa menulis dalam buku hariannya bahwa tahun pertamanya penuh dengan kesulitan. Ia tidak memiliki penghasilan dan harus memohon makanan dan persediaan. Teresa mengalami keraguan, kesepian dan godaan untuk kembali dalam kenyamanan kehidupan biara. Ia menulis dalam buku hariannya:

“Tuhan ingin saya masuk dalam kemelaratan. Hari ini saya mendapat pelajaran yang baik. Kemelaratan para orang miskin pastilah sangat keras. Ketika saya mencari tempat tinggal, saya berjalan dan terus berjalan sampai lengan dan kaki saya sakit. Saya bayangkan bagaimana mereka sakit jiwa dan raga, mencari tempat tinggal, makanan dan kesehatan. Kemudian kenikmatan Loreto datang pada saya. ‘Kamu hanya perlu mengatakan dan semuanya akan menjadi milikmu lagi,’ kata sang penggoda... Sebuah pilihan bebas, Tuhanku, cintaku untukmu, aku ingin tetap bertahan dan melakukan segala keinginan-Mu merupakan kehormatan bagiku. Aku tidak akan membiarkan satu tetes air mata jatuh karenanya.”.

Teresa mendapatkan izin Vatikan pada 7 Oktober 1950 untuk memulai kongregasi keuskupan, yang kemudian menjadi Misionaris Cinta Kasih. Misinya adalah untuk merawat "yang lapar, telanjang, tunawisma, orang cacat, orang buta, penderita kusta, semua orang yang merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak diperhatikan seluruh masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan dihindari oleh semua orang."

Kongregasi ini dimulai dengan 13 orang anggota di Kalkuta, kini telah lebih dari 4.000 suster menjalankan panti asuhan, rumah bagi penderita AIDS dan pusat amal di seluruh dunia, dan merawat para pengungsi, pecandu alkohol, orang buta, cacat, tua, orang miskin dan tunawisma, korban banjir, dan wabah kelaparan.

Pada tahun 1952, Bunda Teresa membuka Home for the Dying pertama diatas lahan yang disediakan oleh kota Kalkuta. Dengan bantuan pejabat India, ia mengubah sebuah kuil Hindu yang ditinggalkan menjadi Kalighat Home for the Dying, sebuah rumah sakit gratis untuk orang miskin. Mereka yang dibawa ke rumah tersebut menerima perhatian medis dan diberikan kesempatan untuk meninggal dalam kemuliaan, menurut ritual keyakinan mereka; Muslim membaca Al-Quran, Hindu menerima air dari sungai Gangga, dan Katolik menerima Ritus Terakhir. "Sebuah kematian yang indah," katanya, "adalah untuk orang-orang yang hidup seperti binatang, mati seperti malaikat - dicintai dan diinginkan."

Bunda Teresa segera menyediakan tempat tinggal untuk mereka yang menderita penyakit Hansen, umumnya dikenal sebagai kusta dan menyebut tempat ini sebagai Shanti Nagar (Kota Kedamaian). Para Misionaris Cinta Kasih juga mendirikan beberapa klinik kusta yang terjangkau di seluruh Kalkuta, menyediakan obat-obatan, perban dan makanan.

Bunda Teresa merasa perlu untuk membuat rumah bagi anak-anak yang hilang. Pada tahun 1955, ia membuka Nirmala Shisu Bhavan, sebagai perlindungan bagi yatim piatu dan remaja tunawisma.

Pada tahun 1960-an, ordo ini telah membuka penampungan, panti asuhan dan rumah lepra di seluruh India. Bunda Teresa kemudian memperluas ordo di seluruh dunia. Rumah pertama di luar India dibuka di Venezuela pada tahun 1965 dengan lima suster. Selanjutnya di Roma, Tanzania, dan Austria pada tahun 1968, dan selama tahun 1970, ordo ini membuka rumah dan yayasan di puluhan negara baik di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Serikat. Pada tahun 2007, Misionaris Cinta Kasih berjumlah kurang lebih 450 bruder dan 5.000 biarawati di seluruh dunia, menjalankan 600 misi, sekolah dan tempat penampungan di 120 negara.

    

I.2. Mendapatkan Penghargaan

Mata dunia mulai terbuka terhadap Ibu Teresa dan karyanya. Berbagai penghargaan dianugerahkan kepadanya, mulai dari Indian Padmashri Award pada tahun 1962, Hadiah Perdamaian dari Beato Paus Yohanes XXIII, Nobel Perdamaian pada tahun 1979 dan penghargaan-penghargaan lainnya seperti: Magsaysay (Philipina), Warga Kehormatan India, Albania, USA, Doktor Kehormatan bidang Teologi Kedokteran Manusia dan diberikan kehormatan berpidato di depan Majelis Umum PBB. Di samping itu berbagai media dengan penuh minat mulai mengikuti perkembangan kegiatannya. Ibu Teresa menerima baik penghargaan maupun perhatian dunia “demi kemuliaan Tuhan atas nama orang-orang miskin.”

I.3. Akhir Hidup Mother Teresa

Sepanjang tahun-tahun terakhir hidupnya, meskipun mengalami gangguan penyakit yang cukup parah, Ibu Teresa tetap mengendalikan kongregasinya serta menanggapi kebutuhan orang-orang miskin dan Gereja. Pada tahun 1997, para biarawatinya telah hampir mencapai 4000 orang, tergabung dalam 610 cabang dan tersebar di 123 negara dari berbagai belahan dunia. Pada bulan Maret 1997, Ibu Teresa memberikan restu kepada Sr. Nirmala MC, penerusnya sebagai Superior Jenderal Misionaris Cinta Kasih. Setelah bertemu dengan Paus Yohanes Paulus II untuk terakhir kalinya, ia kembali ke Calcutta dan melewatkan minggu-minggu terakhir hidupnya dengan menerima kunjungan para tamu dan memberikan nasehat-nasehat terakhir kepada para biarawatinya.

Pada tanggal 5 September 1997 jam 9:30 malam, hidup Ibu Teresa di dunia ini berakhir. Jenazahnya dipindahkan dari Rumah Induk ke Gereja St. Thomas, gereja dekat Biara Loreto di mana ia menjejakkan kaki pertama kalinya di India hampir 69 tahun yang lalu. Ratusan ribu pelayat dari berbagai kalangan dan agama, dari India maupun luar negeri, berdatangan untuk menyampaikan penghormatan terakhir mereka. Ibu Teresa mendapat kehormatan dimakamkan secara kenegaraan oleh Pemerintah India pada tanggal 13 September. Jenazahnya diarak dalam kereta yang sama yang dulu digunakan mengusung jenazah Mohandas K. Gandhi and Jawaharlal Nehru, melewati jalan-jalan di Calcutta sebelum akhirnya dimakamkan di Rumah Induk Misionaris Cinta kasih. Segera saja makamnya menjadi tempat ziarah dan tempat doa bagi banyak orang dari berbagai kalangan agama, kaya maupun miskin. Ibu Teresa mewariskan teladan iman yang kokoh, harapan yang tak kunjung padam, dan cinta kasih yang luar biasa. Jawaban atas panggilan Yesus, “Mari, jadilah cahaya bagi-Ku,” menjadikannya seorang Misionaris Cinta Kasih, seorang “ibu bagi kaum miskin”, sebagai simbol belas kasih terhadap dunia, dan sebagai saksi hidup bagi Tuhan yang dahaga.  

26 April 2002, kurang dari lima tahun sejak wafatnya, mengingat reputasi Ibu Teresa yang tersebar luas karena kekudusan dan karya-karyanya, Paus Yohanes Paulus II memberikan persetujuan untuk dimulainya proses kanonisasi Ibu Teresa. Pada tanggal 20 Desember 2002 Bapa Suci menyetujui dekrit keutamaan-keutamaannya yang gagah berani dan mukjizat yang terjadi atas bantuan doanya. 19 Oktober 2003 Paus Yohanes Paulus II memaklumkan Ibu Teresa sebagai “BEATA TERESA dari CALCUTTA”.

“Jangan pernah kita lupa akan teladan mengagumkan yang diwariskan oleh Ibu Teresa, dan marilah kita mengingatnya bukan hanya dalam kata-kata belaka! Melainkan, dengan senantiasa memiliki keberanian untuk memberikan prioritas pada kemanusiaan.”

~ Paus Yohanes Paulus II



II.          SPIRITUALITAS

Apabila kita bertanya apakah yang menjadi spiritualitas hidup Mother Teresa? Kita dapat menemukan jawabannya dalam seluruh perjalanan rohaninya sebagai seorang biarawati. Pada akhirnya kita akan menemukan bahwa Cinta akan Yesus merupakan semangat utama yang menggerakkannya untuk bertindak terhadap orang-orang kecil, lemah, dan yang mengalami kekeringan rohani. Ia menghimpun semuanya dalam Cinta Tuhan yang menyegarkan dan menyelamatkan. Ada tiga bagian pokok dalam kehidupan rohani Mother Teresa, yaitu kaul pribadinya, pengalaman mistik yang melahirkan ilham mendirikan Misionaris Cinta Kasih, serta ketulusannya dalam memanggul Salib Kristus selama bertahun-tahun panjang kegelapan batinnya. Ketiga hal ini saling terhubung: kaul pribadi berfungsi sebagai landasan untuk panggilannya dalam melayani yang paling malang di antara kaum malang, panggillan baru yang membawanya masuk ke dalam realitas spiritual mereka yang ia layani, dan kaul itu sekali lagi menjadi pendorong tekadnya untuk hidup dalam kegelapan yang menyakitkan.
 II.2. “malam gelap jiwa” (dark night of the soul)

“Jalan spiritualitas adalah jalan yang sungguh melelahkan dan menyakitkan seseorang yang sungguh beriman kepada Tuhan. Maka tak semua orang bisa menempuh jalan itu, karena kita takut masuk ke kedalaman diri kita sendiri”.

Mother Teresa mendirikan Misionaris Cinta Kasih pada tanggal 10 September 1946 dan meninggalkan Ordo Loreto merupakan suatu masa yang baru untuk memulai karyanya di tengah mereka yang menderita dan membutuhkan uluran tangan kasih Allah melalui Mother Teresa. Ia dengan berani memikul banyak penderitaan yang datang kepadanya dan dengan teguh bertahan pada misi barunya itu.

Pengalaman kesepian dan ‘kegelapan’ yang dialaminya bahkan sejak ia melayani orang miskin di Kalkuta, India. Ia berkeluh kesah bahwa kerap ia mengalami kekeringan, kesepian dan kegelapan terus-menerus.

Rahasia Ilahi dialaminya dengan sangat mendalam melalui penderitaan dan kesengsaraan. Ia mengalami pemurnian diri dengan cobaan yang sangat dahsyat berupa penderitaan mistik ini. Memilih menghadapi nyeri yang mendalam ini dengan iman, penyerahan diri dan tanpa pernah melepaskan hasrat untuk menyenangkan Tuhan, sambil menunjukkan kesetiaan yang menonjol pada tugas-tugas religiusnya, ia sudah menetapkan pola untuk reaksinya terhadap cobaan batin jauh lebih berat lagi.

Dalam sebuah suratnya tertanggal 8 Februari 1937 (saat ia baru 9 tahun jadi biarawati), Teresa menulis, “Jangan mengira bahwa kehidupan rohaniku adalah jalinan mawar – itu itu bunga yang jarang kutemukan dalam perjalanan hidupku. Sebaliknya, yang sering menemaniku adalah ‘kegelapan’”. Nampaknya kehampaan itu dirasakan Ibu Teresa puluhan tahun. Pada kesempatan yang lain Teresa menulis, “Tuhan, Allahku, siapakah aku ini sehingga Engkau menolakku? … Sendirian. Kegelapan begitu pekat, dan aku sendirian. Tak dimaui, ditolak. Kesepian hati yang mendambakan cinta ini sungguh tak tertanggungkan. Di mana imanku? Bahkan pada lubuk terdalam batinku, yang ada hanyalah kekosongan dan kegelapan. Allahku, betapa menyakitkan derita yang tak kuketahui ini”. Lebih menggemparkan lagi, kepada Pastor Joseph Neuner ia mengungkapkan: “Tempat Allah dalam jiwaku kosong. Tak ada Allah dalam diriku …Surga, jiwa, semua ini hanyalah kata-kata, tidak bermakna bagiku”. Tak seorang pun menyangka Ibu Teresa telah begitu menderita. Sebaliknya, di hadapan public, Ibu Teresa selalu memperlihatkan wajah suka cita dan tidak mempertanyakan Tuhan yang diimaninya. Ini yang dipandang kontroversi. Hingga Majalah Time edisi 23 Agustus 2007 memuat petikannya dengan judul provokatif: ‘Mother Teresa’s Crisis of Faith’.

Mother Teresa telah terpanggil untuk dengan cara yang unik ikut mengalami misteri Salib, untuk menjadi satu dengan Kristus dalam kisah sengsara-Nya dan dengan kaum papa yang ia layani. Melalui pengalaman ini ia digiring pada sebuah kesadaran yang mendalam tentang “dahaga menyakitkan” yang diderita oleh Hati Yesus untuk yang paling malang di antara kaum malang.   

Mother Teresa percaya akan rencana Allah dan tetap berpegang teguh pada panggilan-Nya. Ia berkata: “Tuhanku, berilah keberanian kepadaku --- saat ini juga untuk bertahan dalam mengikuti panggilan-Mu.”



II.1. Cinta-Nya yang Mendalam pada Yesus

            Dalam tahun-tahun setelah pengucapan kaul kekalnya, cinta Mother Teresa yang mendalam kepada Yesus berlanjut sampai mendorongnya untuk mengungkapkannya secara baru, yakni melakukan kepada Tuhan apa saja yang dikehendaki-Nya. Mother Teresa berkata:

“saya telah bersumpah di hadapan Tuhan yang akan menjadi dosa besar jika saya melanggarnya, untuk memberikan kepada Tuhan apa pun yang bisa Ia kehendaki, ‘untuk tidak menolak apapun yang Ia minta.’ Keputusan ini bukan berasal dari doronga tiba-tiba atau tujuan atau idealisme tertentu melainkan dibangun di atas kemurnian dan komitmen yang jelas. Kaul pribadi ini menyembunyikan kedalaman cintanya kepada Tuhan, yang memotivasi pelayanannya. Pengalaman yang telah dilaluinya merupakan wujud kebesaran cinta Tuhan yang membuatnya merasa wajib memberikan tanggapan, sebagaimana yang dikatakannya:

Mengapa kita meyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan? Sebab Tuhan telah memberikan diri-Nya sendiri kepada kita. Jika Tuhan yang tidak berutang sedikit pun  kepada kita siap memberikan diri-Nya kepada kita, akankah kita hanya menanggapi dengan sebagian diri kita? Memberikan diri kita scara utuh kepada Tuhan adalah sebuah cara untuk menerima Tuhan sendiri.  Saya untuk Tuhan dan Tuhan untuk saya. Saya hidup untuk Tuhan dan saya menyerahkan diri secara utuh, dan dengan cara ini saya menyediakan tempat bagi Tuhan untuk hidup dalam saya. Oleh sebab itu, untuk memiliki Tuhan, kita harus membolehkan Tuhan memiliki hidup kita.

Ia adalah seorang perempuan yang tergila-gila “mencintai Tuhan”, dan lebih dari pada itu, ia perempuan yang paham bahwa “Tuhan juga tergila-gila mencintainya”. Karena telah mengalami kasih Tuhan kepadanya, ia berhasrat sekali membalas cintanya, bahkan dengan cinta yang tak pernah ia terima.  

II.1.1 Mengasihi Orang Miskin

Bunda Teresa berbagi hati Yesus dengan cara yang luar biasa, yang akan membangkitkan semangat kita untuk menyayangi mereka yag terlupakan dan terlantarkan – tak peduli dimanapun mereka tinggal.  Yang butuh dan yang papa, menurutnya, bukan hanya mereka yang tinggal di kawasan kumuh di kota-kota dan negara-negara Dunia Ketiga, tetapi mereka yang menderita secara rohaniah atau fisik di keluarga kita sendiri atau lingkungan tempat tinggal kita –suami yang tidak dihargai, anak yang terlantar, atau seorang yang kesepian dan mengunci diri. Bunda Teresa juga berbicara dengan serius sekali tentang AIDS, momok zaman sekarang, yang ia sebut ”penyakit kusta Dunia Barat”, tragedi aborsi, dan perlunya mengurus anak-anak yang ditinggal dan tidak diingini. Tuhan telah menyalakan  dalam hatinya cinta yang sangat mendalam yang membuatnya melakukan persembahan luar biasa besar itu. Ia sudah bertekad untuk “meminum piala sampai tetes yang terakhir”.

Ibu Teresa berkata:

“Berikan yang terbaik dari apa yang kamu miliki. Mungkin itu tidak akan pernah cukup. Tetapi tetaplah berikan yang terbaik. Jangan pedulikan apa yang orang lain pikirkan atas perbuatan baik yang kamu lakukan. Percayalah bahwa mata Yang Mahakuasa tertuju pada orang-orang yang jujur dan Dia melihat ketulusan hatimu.”

“Hidup adalah kesempatan, manfaatkanlah. Hidup adalah keindahan, kagumilah. Hidup adalah kebahagiaan, nikmatilah. Hidup adalah tantangan, hadapilah. Hidup adalah kewajiban, selesaikanlah.”

Selanjutnya, Mother Teresa adalah pribadi yang penuh cinta dan secara total menyerahkan dirinya untuk pelayanan kepada Tuhan dan kepada sesama yang lemah dan bahkan tanpa ada harapan hidup. Mother Teresa berkata:

“Aku mendatangi seorang perempuan di salah satu jalan Kalkuta, separuh tubuhnya sudah digerogoti oleh tikus dan sengatan lebah. Aku membawa ke rumah sakit, tetapi petugas medis menonton dan diam saja. Aku tidak mau pulang ke rumah, kalau mereka tidak segera menolong…”

“Busana cinta itu berenda-renda. Dan mau tak mau renda-rendanya itu akan menyapu debu-debu jalanan. Maka cinta itu harus menyentuh kotoran-kotoran di jalan-jalan besar dan lorong-lorong sempit, yang dilaluinya.”

“Saya ingin membantu siapa pun untuk menunjukkan cinta kepada sesama. Jika mereka membantu saya, mereka membantu yang miskin. Saya tak pernah menerima bantuan uang di bawah syarat apa pun kecuali cinta kasih.”

“Saya hanya pensil kecil di Tangan Tuhan. Dia yang berpikir. Dia yang menulis. Pensil itu tidak bisa apa-apa. Ia hanya digunakan. Saya merasa Tuhan ingin memperlihatkan kebesaran-Nya dengan menggunakan ketiadaan.”

“Setiap hari sebenarnya merupakan persiapan untuk mati. Kalau ada orang meninggal hari ini, maka bisa jadi, esok atau lusa, atau bahkan beberapa menit lagi adalah giliran kita. Dengan kesadaran itu, kita belajar menghidupi hari-hari dengan tak sedetik pun meninggalkan Tuhan. Kematian adalah sesuatu yang indah, dan tak ada yang harus ditakutkan, karena itu hanyalah tahapan yang harus dilewati untuk pulang ke Rumah, di mana Dia berada dan dari mana kita semua berasal.”

“Semua di dunia akan hancur pertama-tama bukan oleh bom dan senjata kimia berbahaya. Melainkan oleh ketiadaan cinta akibat keserakahan manusia.”

“Kemerdekaan sejati manusia sesungguhnya terletak pada kebebasan kita sebagai anak-anak Allah. Karena ia telah menciptakan kita dalam kebenaran dan cinta-Nya.”



Ia seorang biarawati dengan tubuh yang rapuh namun dengan semangat cinta yang mendalam. Hanya dengna beberapa rupee dalam kantongnya Ia membangun pelayanan penuh cinta kepada mereka yang melarat. Ia tidak luar biasa pintar. Tidak juga luar biasa berbakat dalam seni meyakinkan orang. Ia hanya bergerak dengan cinta Kristen bersinar di kelilingnya, dalam hatinya dan pada bibirnya. Hanya karena ia begitu bersedia untuk mengikuti Tuhan dan menerima ajaran-Nya, maka ia memandang setiap orang melarat yang ditinggal mati di jalan-jalan sebagai saudaranya sendiri, bahkan sebagai Tuhannya. Ia begitu peka mendengar tangisan setiap tangisan anak-anak terlantar. Ia begitu peka melihat tangan-tangan yang buntung dari orang-orang berkusta sebagai tangan Yesus, yang pernah menyentuh mata orang buta dan membuatnya melihat, memulihkan kesehatan orang-orang yang sakit dan lumpuh. Mother Teresa berkata:

“Yang terutama dibutuhkan oleh orang-orang melarat ialah perasaan bahwa mereka dibutuhkan”. Bagi Mother Teresa, “Kebutuhan ini bahkan lebih dari pada kebutuhan akan makanan, pakaian dan perumahan (walaupun semunaya ini juga mereka perlukan sungguh-sungguh). Perasaan bahwa mereka tidak terhitung lagi sebagai anggota masyarakat karena kemelaratannya, itulah yang paling menyengsarakan mereka.”

Dalam hatinya, Mother Teresa mempunyai suatu tempat bagi mereka semua. Baginya, semua mereka adalah anak-anak Allah. Untuk mereka, Kristus telah mati disaliblkan. Karena itu, mereka harus dicintai.

II.1.2. Penyerahan Diri Sepenuhnya

“Penyerahan Diri Sepenuhnya” merasuk jauh ke dalam citra yang melekat dalam diri Ibu Teresa, jauh ke dalam inti hidup serta pandangan spiritualnya. Dengan kata-katanya sendiri Ibu Teresa mengungkapkan kegembiraannya yang sederhana dalam mengikuti Yesus dan menyerahkan diri sepenuhnya kepadanya. Hidup dalam kemiskinan radikal yang ia jalani serta dedikasinya yang sepenuh hati kepada kaum terpapa dari yang terpapa, membentuk inti dari penyerahan kepada Allah dan kepada mereka yang paling membutuhkan.

Ini adalah bagian dari kejeniusan Ibu Teresa dalam menemukan jalan untuk membuat spiritualitasnya diterima oleh semua orang dari segala tingkat dan keadaan, dalam hidup. laki-laki dan perempuan, tua dan muda, sakit dan sehat, kaya atau miskin, rohaniwan atau awam, menikah dan lajang, katolik dan protestan, dapat bergabung bersamanya, berbagi pandangan dan kegembiraan dalam mengabdi kepada kristus dan orang-orang miskin.

II.1.3. Hidup adalah suatu rangkaian doa

            Bagi Mother Teresa hidup adalah suatu rangkaian doa. kebutuhan untuk menyendiri bersama Allah, sama pentingnya dengan bekerja. Tetapi pekerjaan itu sendiri tidak bisa menggantikan kedudukan doa. “.... karena itulah kami mengawali dan mengakhiri hari setiap hari dengan dengan doa. karena, kalau kami berdoa, kami menyentuh tubuh Kristus....”

II.1.4. Semangat “Tobat”

            Tobat baginya berarti mengenal dan mencintai Allah dengan sepenuh hati. Namun tobat pertama-tama harus berasal dari sikap dan keterbukaan orang untuk menerima rahmat pertobatan dari Allah. Mother Teresa menulis:

“Oh, saya sungguh-sungguh berharap bahwa saya dapat menobatkan orang. Saya tidak tahu, apa yang saudara pikirkan. Saya harap bahwa kami sanggup menobatkan hati orang. Bahkan Tuhan yang Mahakuasa sendiri tidak dapat menobatkan seorang pun, kalau orang itu tidak mau. .... jalan pertobatan adalah mendekatkan diri dengan Tuhan.”

II.1.5. Berpegang teguh pada kaul-kaul

            Mother Teresa berkata,”panggilan kami adalah untuk menjadi milik Yesus.... “, “kaul-kaul yang kami ikrarkan itu membentuk kehidupan rohani kami. Kaul keperawanan bukan sekadar berarti bahwa kami tidak menikah. Dalam dunia ini ada banyak orang yang tidak menikah. Kaul keperawanan itu tak lain daripada mencintai Kristus secara tak terbagi, dalam kemurnian, sehingga kami maju dalam kemerdekaan dan kemiskinan. .. kemiskinan bagi kami, bukan pertama-tama berarti tidak mempunyai ini atau itu. Kemiskinan merupakan kemerdekaan. Untuk mencintai Kristus yang tak terbagi, saya harus bebas, tidak terikat. Ketaatan bagi kami berarti penyerrahan diri secara menyeluruh. Jika saya milik Kristus, saya milik Tuhan.



Penutup

Ibu Teresa dari Kalkuta sebenarnya tidak mau dibicarakan, apalagi ditokohkan. Dia lebih ingin agar orang berbicara tentang Tuhan. Dengan jujur dia mengakui bahwa dirinya tidak berarti apa-apa, bukan siapa-siapa. Apa pun yang dilakukannya semata-mata untuk Yesus, bersama Yesus, dalam Yesus, dan dari Yesus. Namun, bagaimanapun juga ia telah menjadi dian yang menyala di tengah kegelapan. Jejak langkahnya selalu menarik untuk diteladani dan dikagumi. Tidak heran kalau Sekjen PBB Xavier Perez deCuellar, di hadapan sidang umum PBB 26 Oktober 1985 menyebut Ibu Teresa sebagai The most powerful woman in the world.

“Menurut darah, saya seorang Albania.

Menurut kewarganegaraan, saya seorang India.

Menurut iman, saya seorang biarawati Katolik.

Menurut panggilan, saya milik dunia.

Sementara hati saya, sepenuhnya saya milik Hati Yesus.”



~ Beata Teresa dari Calcutta





by ; http://lrtuka.blogspot.com/2013/03/ziarah-rohani-mother-teresa.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar