Postingan kali ini saya mau ngebahas tentang Bunda Teresa.. Saya gatau banyak tentang beliau. Yang saya tau dia adalah seorang Biarawati yang mendedikasikan hidupnya buat melayani Tuhan dan sesama terutama untuk yang kalangan bawah. Mari kita sama2 belajar mengenai kasih memalui postingan saya ini :))
Agnes Gonxha Bojaxhiu dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1910 di Skopje,
sebagai yang bungsu dari tiga bersaudara putra-putri Bapak Nikola dan Ibu Drane
Bojaxhiu. Pada usia delapan belas tahun, bulan September 1928, Agnes masuk
Biara Suster-suster Loreto di Irlandia. Ia memilih nama Suster Maria Teresa
sebagai kenangan akan St. Theresia Lisieux.
Pada bulan Desember, Sr Teresa berangkat ke India dan tiba di Calcutta pada
tanggal 6 Januari 1929. Setelah mengucapkan Kaul Pertamanya pada bulan Mei
1931, Sr Teresa ditugaskan untuk mengajar di sekolah putri St Maria, Calcutta.
Pada tanggal 24 Mei 1937, Sr. Teresa mengucapkan Kaul Kekalnya, dan menjadi
“pengantin Yesus” untuk “selama-lamanya”. Sejak saat itu ia dipanggil Ibu
Teresa. Ia tetap mengajar di sekolah St Maria dan pada tahun 1944 diangkat
sebagai kepala sekolah.
Pada tanggal 10 September 1946, dalam perjalanan kereta api dari Calcutta
ke Darjeeling untuk menjalani retret tahunannya, Ibu Teresa menerima
“inspirasi”, “panggilan dalam panggilan”-nya. Pada hari itu, dengan suatu cara
yang tidak pernah dapat dijelaskannya, dahaga Yesus akan cinta dan akan
jiwa-jiwa memenuhi hatinya. “Mari, jadilah cahaya bagi-Ku.” Sejak itu, Ibu
Teresa dipenuhi hasrat “untuk memuaskan dahaga Yesus yang tersalib akan cinta
dan akan jiwa-jiwa” dengan “berkarya demi keselamatan dan kekudusan orang-orang
termiskin dari yang miskin”. Pada tanggal 17 Agustus 1948, untuk pertama kalinya
Ibu Teresa tampil mengenakan sari putih dengan pinggiran garis-garis warna
biru. Ia keluar melewati gerbang Biara Loreto yang amat dicintainya untuk
memasuki dunia orang-orang miskin.
Pada tanggal 21 Desember untuk pertama kalinya Ibu Teresa keluar-masuk
perkampungan kumuh India. Ia mengunjungi keluarga-keluarga, membasuh borok dan
luka beberapa anak, merawat seorang bapak tua yang tergeletak sakit di pinggir
jalan dan merawat seorang wanita sekarat yang hampir mati karena kelaparan dan
TBC. Setiap hari Ibu Teresa memulai hari barunya dengan persatuan dengan
Yesus dalam Ekaristi, lalu kemudian pergi dengan rosario di tangan, untuk
mencari dan melayani Dia dalam “mereka yang terbuang, yang teracuhkan, yang tak
dikasihi”. Setelah beberapa bulan, ia ditemani oleh, seorang demi seorang, para
pengikutnya yang pertama.
I.1. Misionaris Cinta Kasih
Pada tanggal 10 September 1946, Teresa
mengalami "panggilan" saat bepergian dengan kereta api ke biara
Loreto di Darjeeling dari Kalkuta untuk retret tahunannya.
"Saya meninggalkan biara dan membantu orang miskin sewaktu tinggal bersama
mereka. Ini adalah sebuah perintah. Kegagalan akan mematahkan iman."
Dia memulai pekerjaan misionarisnya bersama orang miskin pada 1948,
meninggalkan jubah tradisional Loreto dengan sari katun sederhana
berwarna putih dihiasi dengan pinggiran biru. Bunda Teresa mengadopsi
kewarganegaraan India, menghabiskan beberapa bulan di Patna untuk menerima pelatihan dasar medis di Rumah Sakit Keluarga Kudus
dan kemudian memberanikan diri ke daerah kumuh. Ia mengawali sebuah sekolah di
Motijhil (Kalkuta); kemudian ia segera membantu orang miskin dan kelaparan.
Pada awal tahun 1949, ia bergabung dalam usahanya dengan sekelompok perempuan
muda dan meletakkan dasar untuk menciptakan sebuah komunitas religius baru
untuk membantu orang-orang "termiskin di antara kaum miskin".
Usahanya dengan cepat menarik perhatian para pejabat India, termasuk
perdana menteri yang menyampaikan apresiasinya. Teresa menulis dalam buku
hariannya bahwa tahun pertamanya penuh dengan kesulitan. Ia tidak memiliki
penghasilan dan harus memohon makanan dan persediaan. Teresa mengalami
keraguan, kesepian dan godaan untuk kembali dalam kenyamanan kehidupan biara.
Ia menulis dalam buku hariannya:
“Tuhan ingin saya
masuk dalam kemelaratan. Hari ini saya mendapat pelajaran yang baik.
Kemelaratan para orang miskin pastilah sangat keras. Ketika saya mencari tempat
tinggal, saya berjalan dan terus berjalan sampai lengan dan kaki saya sakit.
Saya bayangkan bagaimana mereka sakit jiwa dan raga, mencari tempat tinggal,
makanan dan kesehatan. Kemudian kenikmatan Loreto datang pada saya. ‘Kamu hanya
perlu mengatakan dan semuanya akan menjadi milikmu lagi,’ kata sang penggoda...
Sebuah pilihan bebas, Tuhanku, cintaku untukmu, aku ingin tetap bertahan dan
melakukan segala keinginan-Mu merupakan kehormatan bagiku. Aku tidak akan
membiarkan satu tetes air mata jatuh karenanya.”.
Teresa mendapatkan izin Vatikan pada 7 Oktober 1950 untuk memulai
kongregasi keuskupan, yang kemudian menjadi Misionaris Cinta Kasih. Misinya
adalah untuk merawat "yang lapar, telanjang, tunawisma, orang cacat, orang
buta, penderita kusta, semua orang yang merasa tidak diinginkan, tidak
dicintai, tidak diperhatikan seluruh masyarakat, orang yang telah menjadi beban
bagi masyarakat dan dihindari oleh semua orang."
Kongregasi ini dimulai dengan 13 orang anggota di Kalkuta, kini telah
lebih dari 4.000 suster menjalankan panti asuhan, rumah bagi penderita AIDS dan
pusat amal di seluruh dunia, dan merawat para pengungsi, pecandu alkohol, orang
buta, cacat, tua, orang miskin dan tunawisma, korban banjir, dan wabah
kelaparan.
Pada tahun 1952, Bunda Teresa membuka Home for the Dying pertama
diatas lahan yang disediakan oleh kota Kalkuta. Dengan bantuan pejabat India,
ia mengubah sebuah kuil Hindu yang ditinggalkan menjadi Kalighat Home for the Dying, sebuah rumah sakit gratis untuk orang
miskin. Mereka yang dibawa ke rumah tersebut menerima perhatian medis dan
diberikan kesempatan untuk meninggal dalam kemuliaan, menurut ritual keyakinan
mereka; Muslim membaca Al-Quran, Hindu menerima air dari sungai Gangga, dan Katolik menerima Ritus Terakhir.
"Sebuah kematian yang indah," katanya, "adalah untuk orang-orang yang hidup seperti binatang, mati
seperti malaikat - dicintai dan diinginkan."
Bunda Teresa segera menyediakan tempat tinggal untuk mereka yang menderita
penyakit Hansen, umumnya dikenal sebagai kusta dan
menyebut tempat ini sebagai Shanti Nagar (Kota Kedamaian). Para Misionaris
Cinta Kasih juga mendirikan beberapa klinik kusta yang terjangkau di seluruh
Kalkuta, menyediakan obat-obatan, perban dan makanan.
Bunda Teresa merasa perlu untuk membuat rumah bagi anak-anak yang hilang.
Pada tahun 1955, ia membuka Nirmala Shisu Bhavan, sebagai perlindungan bagi yatim piatu dan remaja tunawisma.
Pada tahun 1960-an, ordo ini telah membuka penampungan, panti asuhan dan
rumah lepra di seluruh India. Bunda Teresa kemudian memperluas ordo di seluruh
dunia. Rumah pertama di luar India dibuka di Venezuela pada tahun 1965 dengan lima suster. Selanjutnya di Roma, Tanzania, dan Austria pada tahun 1968, dan selama tahun 1970, ordo ini membuka rumah dan
yayasan di puluhan negara baik di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2007, Misionaris Cinta Kasih berjumlah kurang lebih 450 bruder dan 5.000 biarawati di seluruh dunia, menjalankan 600 misi, sekolah dan tempat penampungan di
120 negara.
I.2. Mendapatkan Penghargaan
Mata dunia mulai terbuka terhadap Ibu Teresa dan karyanya. Berbagai
penghargaan dianugerahkan kepadanya, mulai dari Indian Padmashri Award pada
tahun 1962, Hadiah Perdamaian dari Beato Paus Yohanes XXIII, Nobel Perdamaian
pada tahun 1979 dan penghargaan-penghargaan lainnya seperti: Magsaysay
(Philipina), Warga Kehormatan India, Albania, USA, Doktor Kehormatan bidang
Teologi Kedokteran Manusia dan diberikan kehormatan berpidato di depan Majelis
Umum PBB. Di samping itu berbagai media dengan penuh minat mulai mengikuti
perkembangan kegiatannya. Ibu Teresa menerima baik penghargaan maupun perhatian
dunia “demi kemuliaan Tuhan atas nama orang-orang miskin.”
I.3. Akhir Hidup Mother Teresa
Sepanjang tahun-tahun terakhir hidupnya, meskipun mengalami gangguan
penyakit yang cukup parah, Ibu Teresa tetap mengendalikan kongregasinya serta
menanggapi kebutuhan orang-orang miskin dan Gereja. Pada tahun 1997, para
biarawatinya telah hampir mencapai 4000 orang, tergabung dalam 610 cabang dan
tersebar di 123 negara dari berbagai belahan dunia. Pada bulan Maret 1997, Ibu
Teresa memberikan restu kepada Sr. Nirmala MC, penerusnya sebagai Superior
Jenderal Misionaris Cinta Kasih. Setelah bertemu dengan Paus Yohanes Paulus II
untuk terakhir kalinya, ia kembali ke Calcutta dan melewatkan minggu-minggu
terakhir hidupnya dengan menerima kunjungan para tamu dan memberikan
nasehat-nasehat terakhir kepada para biarawatinya.
Pada tanggal 5 September 1997 jam 9:30 malam, hidup Ibu Teresa di dunia
ini berakhir. Jenazahnya dipindahkan dari Rumah Induk ke Gereja St. Thomas,
gereja dekat Biara Loreto di mana ia menjejakkan kaki pertama kalinya di India
hampir 69 tahun yang lalu. Ratusan ribu pelayat dari berbagai kalangan dan
agama, dari India maupun luar negeri, berdatangan untuk menyampaikan
penghormatan terakhir mereka. Ibu Teresa mendapat kehormatan dimakamkan secara
kenegaraan oleh Pemerintah India pada tanggal 13 September. Jenazahnya diarak
dalam kereta yang sama yang dulu digunakan mengusung jenazah Mohandas K. Gandhi
and Jawaharlal Nehru, melewati jalan-jalan di Calcutta sebelum akhirnya
dimakamkan di Rumah Induk Misionaris Cinta kasih. Segera saja makamnya menjadi
tempat ziarah dan tempat doa bagi banyak orang dari berbagai kalangan agama,
kaya maupun miskin. Ibu Teresa mewariskan teladan iman yang kokoh, harapan yang
tak kunjung padam, dan cinta kasih yang luar biasa. Jawaban atas panggilan
Yesus, “Mari, jadilah cahaya bagi-Ku,” menjadikannya seorang Misionaris Cinta
Kasih, seorang “ibu bagi kaum miskin”, sebagai simbol belas kasih terhadap
dunia, dan sebagai saksi hidup bagi Tuhan yang dahaga.
26 April 2002, kurang dari lima tahun sejak wafatnya, mengingat reputasi
Ibu Teresa yang tersebar luas karena kekudusan dan karya-karyanya, Paus Yohanes
Paulus II memberikan persetujuan untuk dimulainya proses kanonisasi Ibu Teresa.
Pada tanggal 20 Desember 2002 Bapa Suci menyetujui dekrit
keutamaan-keutamaannya yang gagah berani dan mukjizat yang terjadi atas bantuan
doanya. 19 Oktober 2003 Paus Yohanes Paulus II memaklumkan Ibu Teresa sebagai
“BEATA TERESA dari CALCUTTA”.
“Jangan pernah kita lupa akan teladan mengagumkan yang diwariskan oleh Ibu
Teresa, dan marilah kita mengingatnya bukan hanya dalam kata-kata belaka!
Melainkan, dengan senantiasa memiliki keberanian untuk memberikan prioritas
pada kemanusiaan.”
~ Paus Yohanes Paulus II
II.
SPIRITUALITAS
Apabila kita bertanya apakah yang menjadi spiritualitas hidup Mother
Teresa? Kita dapat menemukan jawabannya dalam seluruh perjalanan rohaninya
sebagai seorang biarawati. Pada akhirnya kita akan menemukan bahwa Cinta akan
Yesus merupakan semangat utama yang menggerakkannya untuk bertindak terhadap
orang-orang kecil, lemah, dan yang mengalami kekeringan rohani. Ia menghimpun
semuanya dalam Cinta Tuhan yang menyegarkan dan menyelamatkan. Ada tiga bagian
pokok dalam kehidupan rohani Mother Teresa, yaitu kaul pribadinya, pengalaman
mistik yang melahirkan ilham mendirikan Misionaris Cinta Kasih, serta
ketulusannya dalam memanggul Salib Kristus selama bertahun-tahun panjang
kegelapan batinnya. Ketiga hal ini saling terhubung: kaul pribadi berfungsi
sebagai landasan untuk panggilannya dalam melayani yang paling malang di antara
kaum malang, panggillan baru yang membawanya masuk ke dalam realitas spiritual
mereka yang ia layani, dan kaul itu sekali lagi menjadi pendorong tekadnya
untuk hidup dalam kegelapan yang menyakitkan.
II.2. “malam gelap
jiwa” (dark night of the soul)
“Jalan spiritualitas adalah jalan yang sungguh melelahkan dan menyakitkan
seseorang yang sungguh beriman kepada Tuhan. Maka tak semua orang bisa menempuh
jalan itu, karena kita takut masuk ke kedalaman diri kita sendiri”.
Mother Teresa mendirikan Misionaris Cinta Kasih pada
tanggal 10 September 1946 dan meninggalkan Ordo Loreto merupakan suatu masa
yang baru untuk memulai karyanya di tengah mereka yang menderita dan
membutuhkan uluran tangan kasih Allah melalui Mother Teresa. Ia dengan berani
memikul banyak penderitaan yang datang kepadanya dan dengan teguh bertahan pada
misi barunya itu.
Pengalaman kesepian dan ‘kegelapan’ yang dialaminya bahkan
sejak ia melayani orang miskin di Kalkuta, India. Ia berkeluh kesah bahwa kerap
ia mengalami kekeringan, kesepian dan kegelapan terus-menerus.
Rahasia Ilahi dialaminya dengan sangat mendalam melalui
penderitaan dan kesengsaraan. Ia mengalami pemurnian diri dengan cobaan yang
sangat dahsyat berupa penderitaan mistik ini. Memilih menghadapi nyeri yang
mendalam ini dengan iman, penyerahan diri dan tanpa pernah melepaskan hasrat
untuk menyenangkan Tuhan, sambil menunjukkan kesetiaan yang menonjol pada
tugas-tugas religiusnya, ia sudah menetapkan pola untuk reaksinya terhadap
cobaan batin jauh lebih berat lagi.
Dalam sebuah suratnya tertanggal 8 Februari 1937 (saat ia
baru 9 tahun jadi biarawati), Teresa menulis, “Jangan mengira bahwa kehidupan
rohaniku adalah jalinan mawar – itu itu bunga yang jarang kutemukan dalam
perjalanan hidupku. Sebaliknya, yang sering menemaniku adalah ‘kegelapan’”.
Nampaknya kehampaan itu dirasakan Ibu Teresa puluhan tahun. Pada kesempatan
yang lain Teresa menulis, “Tuhan, Allahku, siapakah aku ini sehingga Engkau
menolakku? … Sendirian. Kegelapan begitu pekat, dan aku sendirian. Tak dimaui,
ditolak. Kesepian hati yang mendambakan cinta ini sungguh tak tertanggungkan.
Di mana imanku? Bahkan pada lubuk terdalam batinku, yang ada hanyalah
kekosongan dan kegelapan. Allahku, betapa menyakitkan derita yang tak kuketahui
ini”. Lebih menggemparkan lagi, kepada Pastor Joseph Neuner ia mengungkapkan:
“Tempat Allah dalam jiwaku kosong. Tak ada Allah dalam diriku …Surga, jiwa,
semua ini hanyalah kata-kata, tidak bermakna bagiku”. Tak seorang pun menyangka
Ibu Teresa telah begitu menderita. Sebaliknya, di hadapan public, Ibu Teresa
selalu memperlihatkan wajah suka cita dan tidak mempertanyakan Tuhan yang
diimaninya. Ini yang dipandang kontroversi. Hingga Majalah Time edisi 23
Agustus 2007 memuat petikannya dengan judul provokatif: ‘Mother Teresa’s Crisis
of Faith’.
Mother Teresa telah terpanggil untuk dengan cara yang unik
ikut mengalami misteri Salib, untuk menjadi satu dengan Kristus dalam kisah
sengsara-Nya dan dengan kaum papa yang ia layani. Melalui pengalaman ini ia
digiring pada sebuah kesadaran yang mendalam tentang “dahaga menyakitkan” yang
diderita oleh Hati Yesus untuk yang paling malang di antara kaum malang.
Mother Teresa percaya akan rencana Allah dan tetap
berpegang teguh pada panggilan-Nya. Ia berkata: “Tuhanku, berilah keberanian
kepadaku --- saat ini juga untuk bertahan dalam mengikuti panggilan-Mu.”
II.1. Cinta-Nya yang Mendalam pada Yesus
Dalam tahun-tahun setelah
pengucapan kaul kekalnya, cinta Mother Teresa yang mendalam kepada Yesus
berlanjut sampai mendorongnya untuk mengungkapkannya secara baru, yakni
melakukan kepada Tuhan apa saja yang dikehendaki-Nya. Mother Teresa berkata:
“saya telah bersumpah di hadapan Tuhan yang akan menjadi dosa besar jika
saya melanggarnya, untuk memberikan kepada Tuhan apa pun yang bisa Ia
kehendaki, ‘untuk tidak menolak apapun yang Ia minta.’
Keputusan ini bukan berasal dari doronga tiba-tiba atau tujuan atau idealisme
tertentu melainkan dibangun di atas kemurnian dan komitmen yang jelas. Kaul
pribadi ini menyembunyikan kedalaman cintanya kepada Tuhan, yang memotivasi
pelayanannya. Pengalaman yang telah dilaluinya merupakan wujud kebesaran cinta
Tuhan yang membuatnya merasa wajib memberikan tanggapan, sebagaimana yang
dikatakannya:
Mengapa kita meyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan? Sebab
Tuhan telah memberikan diri-Nya sendiri kepada kita. Jika Tuhan yang tidak
berutang sedikit pun kepada kita siap
memberikan diri-Nya kepada kita, akankah kita hanya menanggapi dengan sebagian
diri kita? Memberikan diri kita scara utuh kepada Tuhan adalah sebuah cara
untuk menerima Tuhan sendiri. Saya untuk
Tuhan dan Tuhan untuk saya. Saya hidup untuk Tuhan dan saya menyerahkan diri
secara utuh, dan dengan cara ini saya menyediakan tempat bagi Tuhan untuk hidup
dalam saya. Oleh sebab itu, untuk memiliki Tuhan, kita harus membolehkan Tuhan
memiliki hidup kita.
Ia adalah seorang perempuan yang tergila-gila “mencintai Tuhan”, dan lebih
dari pada itu, ia perempuan yang paham bahwa “Tuhan juga tergila-gila
mencintainya”. Karena telah mengalami kasih Tuhan kepadanya, ia berhasrat
sekali membalas cintanya, bahkan dengan cinta yang tak pernah ia terima.
II.1.1 Mengasihi Orang Miskin
Bunda Teresa berbagi hati Yesus dengan cara yang luar
biasa, yang akan membangkitkan semangat kita untuk menyayangi mereka yag
terlupakan dan terlantarkan – tak peduli dimanapun mereka tinggal. Yang butuh dan yang papa, menurutnya, bukan
hanya mereka yang tinggal di kawasan kumuh di kota-kota dan negara-negara Dunia
Ketiga, tetapi mereka yang menderita secara rohaniah atau fisik di keluarga
kita sendiri atau lingkungan tempat tinggal kita –suami yang tidak dihargai,
anak yang terlantar, atau seorang yang kesepian dan mengunci diri. Bunda Teresa
juga berbicara dengan serius sekali tentang AIDS, momok zaman sekarang, yang ia
sebut ”penyakit kusta Dunia Barat”, tragedi aborsi, dan perlunya mengurus
anak-anak yang ditinggal dan tidak diingini. Tuhan telah menyalakan dalam hatinya cinta yang sangat mendalam yang
membuatnya melakukan persembahan luar biasa besar itu. Ia sudah bertekad untuk
“meminum piala sampai tetes yang terakhir”.
Ibu Teresa berkata:
“Berikan yang terbaik dari apa yang kamu miliki. Mungkin itu tidak akan
pernah cukup. Tetapi tetaplah berikan yang terbaik. Jangan pedulikan apa yang
orang lain pikirkan atas perbuatan baik yang kamu lakukan. Percayalah bahwa
mata Yang Mahakuasa tertuju pada orang-orang yang jujur dan Dia melihat
ketulusan hatimu.”
“Hidup adalah kesempatan, manfaatkanlah. Hidup adalah keindahan,
kagumilah. Hidup adalah kebahagiaan, nikmatilah. Hidup adalah tantangan,
hadapilah. Hidup adalah kewajiban, selesaikanlah.”
Selanjutnya, Mother Teresa adalah pribadi yang penuh cinta dan secara
total menyerahkan dirinya untuk pelayanan kepada Tuhan dan kepada sesama yang
lemah dan bahkan tanpa ada harapan hidup. Mother Teresa berkata:
“Aku mendatangi seorang perempuan di
salah satu jalan Kalkuta, separuh tubuhnya sudah digerogoti oleh tikus dan
sengatan lebah. Aku membawa ke rumah sakit, tetapi petugas medis menonton dan
diam saja. Aku tidak mau pulang ke rumah, kalau mereka tidak segera menolong…”
“Busana cinta itu berenda-renda. Dan
mau tak mau renda-rendanya itu akan menyapu debu-debu jalanan. Maka cinta itu
harus menyentuh kotoran-kotoran di jalan-jalan besar dan lorong-lorong sempit,
yang dilaluinya.”
“Saya ingin membantu siapa pun untuk
menunjukkan cinta kepada sesama. Jika mereka membantu saya, mereka membantu
yang miskin. Saya tak pernah menerima bantuan uang di bawah syarat apa pun
kecuali cinta kasih.”
“Saya hanya pensil kecil di Tangan
Tuhan. Dia yang berpikir. Dia yang menulis. Pensil itu tidak bisa apa-apa. Ia
hanya digunakan. Saya merasa Tuhan ingin memperlihatkan kebesaran-Nya dengan
menggunakan ketiadaan.”
“Setiap hari sebenarnya merupakan
persiapan untuk mati. Kalau ada orang meninggal hari ini, maka bisa jadi, esok
atau lusa, atau bahkan beberapa menit lagi adalah giliran kita. Dengan
kesadaran itu, kita belajar menghidupi hari-hari dengan tak sedetik pun
meninggalkan Tuhan. Kematian adalah sesuatu yang indah, dan tak ada yang harus
ditakutkan, karena itu hanyalah tahapan yang harus dilewati untuk pulang ke
Rumah, di mana Dia berada dan dari mana kita semua berasal.”
“Semua di dunia akan hancur
pertama-tama bukan oleh bom dan senjata kimia berbahaya. Melainkan oleh
ketiadaan cinta akibat keserakahan manusia.”
“Kemerdekaan sejati manusia sesungguhnya terletak pada
kebebasan kita sebagai anak-anak Allah. Karena ia telah menciptakan kita dalam
kebenaran dan cinta-Nya.”
Ia seorang
biarawati dengan tubuh yang rapuh namun dengan semangat cinta yang mendalam.
Hanya dengna beberapa rupee dalam kantongnya Ia membangun pelayanan penuh cinta
kepada mereka yang melarat. Ia tidak luar biasa pintar. Tidak juga luar biasa
berbakat dalam seni meyakinkan orang. Ia hanya bergerak dengan cinta Kristen
bersinar di kelilingnya, dalam hatinya dan pada bibirnya. Hanya karena ia
begitu bersedia untuk mengikuti Tuhan dan menerima ajaran-Nya, maka ia
memandang setiap orang melarat yang ditinggal mati di jalan-jalan sebagai
saudaranya sendiri, bahkan sebagai Tuhannya. Ia begitu peka mendengar tangisan
setiap tangisan anak-anak terlantar. Ia begitu peka melihat tangan-tangan yang
buntung dari orang-orang berkusta sebagai tangan Yesus, yang pernah menyentuh
mata orang buta dan membuatnya melihat, memulihkan kesehatan orang-orang yang
sakit dan lumpuh. Mother Teresa berkata:
“Yang terutama
dibutuhkan oleh orang-orang melarat ialah perasaan bahwa mereka dibutuhkan”.
Bagi Mother Teresa, “Kebutuhan ini bahkan lebih dari pada kebutuhan akan
makanan, pakaian dan perumahan (walaupun semunaya ini juga mereka perlukan
sungguh-sungguh). Perasaan bahwa mereka tidak terhitung lagi sebagai anggota
masyarakat karena kemelaratannya, itulah yang paling menyengsarakan mereka.”
Dalam hatinya,
Mother Teresa mempunyai suatu tempat bagi mereka semua. Baginya, semua mereka
adalah anak-anak Allah. Untuk mereka, Kristus telah mati disaliblkan. Karena
itu, mereka harus dicintai.
II.1.2. Penyerahan Diri Sepenuhnya
“Penyerahan Diri Sepenuhnya” merasuk jauh ke dalam citra
yang melekat dalam diri Ibu Teresa, jauh ke dalam inti hidup serta pandangan
spiritualnya. Dengan kata-katanya sendiri Ibu Teresa mengungkapkan kegembiraannya
yang sederhana dalam mengikuti Yesus dan menyerahkan diri sepenuhnya kepadanya.
Hidup dalam kemiskinan radikal yang ia jalani serta dedikasinya yang sepenuh
hati kepada kaum terpapa dari yang terpapa, membentuk inti dari penyerahan
kepada Allah dan kepada mereka yang paling membutuhkan.
Ini adalah bagian dari kejeniusan Ibu Teresa dalam
menemukan jalan untuk membuat spiritualitasnya diterima oleh semua orang dari
segala tingkat dan keadaan, dalam hidup. laki-laki dan perempuan, tua dan muda,
sakit dan sehat, kaya atau miskin, rohaniwan atau awam, menikah dan lajang,
katolik dan protestan, dapat bergabung bersamanya, berbagi pandangan dan
kegembiraan dalam mengabdi kepada kristus dan orang-orang miskin.
II.1.3. Hidup adalah suatu rangkaian doa
Bagi Mother Teresa hidup
adalah suatu rangkaian doa. kebutuhan untuk menyendiri bersama Allah, sama
pentingnya dengan bekerja. Tetapi pekerjaan itu sendiri tidak bisa menggantikan
kedudukan doa. “.... karena itulah kami mengawali dan mengakhiri hari setiap hari
dengan dengan doa. karena, kalau kami berdoa, kami menyentuh tubuh Kristus....”
II.1.4. Semangat “Tobat”
Tobat baginya berarti
mengenal dan mencintai Allah dengan sepenuh hati. Namun tobat pertama-tama
harus berasal dari sikap dan keterbukaan orang untuk menerima rahmat pertobatan
dari Allah. Mother Teresa menulis:
“Oh, saya sungguh-sungguh berharap bahwa
saya dapat menobatkan orang. Saya tidak tahu, apa yang saudara pikirkan. Saya
harap bahwa kami sanggup menobatkan hati orang. Bahkan Tuhan yang Mahakuasa
sendiri tidak dapat menobatkan seorang pun, kalau orang itu tidak mau. ....
jalan pertobatan adalah mendekatkan diri dengan Tuhan.”
II.1.5. Berpegang teguh pada kaul-kaul
Mother Teresa
berkata,”panggilan kami adalah untuk menjadi milik Yesus.... “, “kaul-kaul yang
kami ikrarkan itu membentuk kehidupan rohani kami. Kaul keperawanan bukan
sekadar berarti bahwa kami tidak menikah. Dalam dunia ini ada banyak orang yang
tidak menikah. Kaul keperawanan itu tak lain daripada mencintai Kristus secara
tak terbagi, dalam kemurnian, sehingga kami maju dalam kemerdekaan dan
kemiskinan. .. kemiskinan bagi kami, bukan pertama-tama berarti tidak mempunyai
ini atau itu. Kemiskinan merupakan kemerdekaan. Untuk mencintai Kristus yang
tak terbagi, saya harus bebas, tidak terikat. Ketaatan bagi kami berarti
penyerrahan diri secara menyeluruh. Jika saya milik Kristus, saya milik Tuhan.
Penutup
Ibu Teresa dari Kalkuta sebenarnya tidak mau dibicarakan, apalagi
ditokohkan. Dia lebih ingin agar orang berbicara tentang Tuhan. Dengan jujur
dia mengakui bahwa dirinya tidak berarti apa-apa, bukan siapa-siapa. Apa pun
yang dilakukannya semata-mata untuk Yesus, bersama Yesus, dalam Yesus, dan dari
Yesus. Namun, bagaimanapun juga ia telah menjadi dian yang menyala di tengah
kegelapan. Jejak langkahnya selalu menarik untuk diteladani dan dikagumi. Tidak
heran kalau Sekjen PBB Xavier Perez deCuellar, di hadapan sidang umum PBB 26
Oktober 1985 menyebut Ibu Teresa sebagai The most powerful woman in the world.
“Menurut darah, saya seorang
Albania.
Menurut kewarganegaraan, saya
seorang India.
Menurut iman, saya seorang
biarawati Katolik.
Menurut panggilan, saya milik
dunia.
Sementara hati saya, sepenuhnya
saya milik Hati Yesus.”
~ Beata Teresa dari Calcutta
by ; http://lrtuka.blogspot.com/2013/03/ziarah-rohani-mother-teresa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar